Kurba dan Pendidikan Sosial
Dalam ajaran
Islam, setiap ibadah mempunyai ciri khas masing-masing. Idhul fitri misalnya,
diidentikkan dengan zakat fitrah dan silaturrahim, sedangkan Idhul Adha identik
dengan ibadah kurban dan haji. Tetapi di sini yang akan penulis kupas adalah
ibadah kurban saja. Istilah kurban berasal dari kata qaruba,yaqrubu, qurban artinya
dekat. Maksudnya mengorbankan sebagian harta dengan cara menyembelih hewan agar
lebih mendekatkan sebagian harta dengan cara menyembelih hewan agar lebih
mendekatkan diri kepada Allah. Menurut Sahkholid Nasution, bahwa penggunaan
istilah kurban dapat di lihat dalam al-Quran dengan sosio-historis yang berbeda.
Pertama, kurban yang
dilakukan oleh Qabil dan Habil untuk memperebutkan Iqlimah (saudara kembar
Qabil) sebagai pasangan hidupnya. Iqlimah yang menjadi hak Habil sebagai
pasangan hidupnya tidak diterima oleh Qabil dan ia bersikukuh agar Iqlimah
menjadi miliknya sekalipun melanggar aturan yang berlaku saat itu.
Maka untuk
mencari keadilan, keduanya diperintahkan Allah untuk menyediakan kurban dan
siapa yang kurbannya hilang, maka Ia yang akan berhak memiliki Iqlimah sebagai
istrinya. Ternyata kurban yang hilang adalah milik Habil, berarti dialah yang
berhak mempersunting Iqlimah, sementara Qabil tidak merima kenyataan itu dan
memutuskan untuk membunuh Habil demi memperoleh Iqlimah. “Ketika keduanya
mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang mereka berdua (Habil)
dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti
membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27)
Kedua, orang-orang
Yahudi menjadikan kurban sebagai sesembahan. “Maka mengapa yang mereka sembah
selain Allah sebagai Tuhan untuk ”kurban” (mendekatkan diri kepada Allah) tidak
dapat menolong mereka. Bahkan Tuhan-Tuhan itutelah lenyap dari mereka? Itulah
akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan.” (QS. Al-Ahqaf:
28)
Ketiga, kaum kafir
menjadikan kurban sebagi syarat untuk mau beriman kepada Allah dan kepada
Muhammad. “(Yaitu) orang-orang (Yahudi) yang mengatakan: Sesungguhnya Allah
telah memerintahkan kepada kami, supaya kami jangan beriman kepada Rasul,
sebelum dia mendatangkan kepada kami kurban yang dimakan api. Katakanlah:
Sesungguhnya keterangan nyata dan membawa apa yang kamu sebutkan, maka mengapa
kamu membunuh mereka jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Ali Imran: 183)
Keempat, perintah Allah
kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya (Ismail) yang sudah lama ditunggu.
“Tatkala keduanya berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipisnya (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggilah dia: Hai Ibrahim
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor
sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 103-107)
Nilai Pendidikan Sosial
Dari keempat penggunaan istilah kurban di
atas, yang tetap ditradisikan Nabi Muhammad saw. sekitar tahun 2 H sampai
sekarang adalah seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim.Kemudian dari pengorbanan
yang dilakukan nabi Ibrahim mengandung nilai pendidikan social, yakni; pertama, merelakan
apa yang dicintai dikorbankan untuk kepentingan yang lebih bermanfaat. Meminjam
bahasa Cak Nur bahwa Ibrahim berhasil membunuh berhala rasa cinta kepada
anaknya demi memperoleh rida Allah, yang kemudian Allah mengganti kurban tersebut
dengan seekor kambing.
Kalau pada masa nabi Ibrahim harus
“mengorbankan Ismail” yang dicintainya, saat sekarang bentuk “Ismail” bias
berwujud dengan harta benda, jabatan, istri, keluarga. Kedua, mewujudkan
kepekaan social terhadap kondisi sekitar. Hal ini bias di lihat ketika Nabi
Ibrahim mau menyembelih Ismail ternyata Allah menggantinya dengan kambing.
Kemudian dagingnya dibagikan kepada sesame manusia yang membutuhkan. “Maka
makanlah sebagian dari dagingnya dan berilah makan orang-orang yang rela dengan
apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS.
Al-Hajj: 36)
Untuk itu
bagaimana kurbannya umat Islam di Indonesia diserahkan kepada yang benar-benar
yang membutuhkan. Misalnya, orang miskin, anak-anak terlantar maupun korban
bencana alam.
Khusus bagi
orang yang mampu dan tidak mau berkorban disindir dalam hadits Nabi:
“Barangsiapa yang mempunyai kelapangan rizki, tetapi tidak menyembelih qurban,
maka janganlah ia menghampiri tempat shalat kami”. (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan
Ibn Majjah). Artinya orang yang mampu tetapi tidak mau berkorban, maka percuma
saja shalatnya.
Ketiga, ketaatan
seorang anak kepada orang tua. Bahwa di sini ada perintah untuk selalu taat
kepada orang tua. Hal ini bisa dilihat dalam dialog antara Ismail dengan
bapaknya, Ibrahim berkata kepada anaknya, ”Hai anakku, aku melihat dalam mimpi
bahwa engkau ku sembelih, sebab itu pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?” Anaknya
(Ismail) menjawab: ”Wahai bapakku, laksanakanlah apa-apa yang diperintahkan
kepada bapak.” (Ash-Shafat: 102)
Setidaknya
kepatuhan Ismail kepada orang tuanya memberikan pelajaran bagi anak, karena
sekarang banyak anak berani sama orang tua bahkan ada yang sampai tega
membunuhnya.
Keempat, kesabaran
dalam menghadapi setiap ujian. Bagaimana tidak, nabi Ibrahim yang
berpuluh-puluh tahun menanti kelahiran anaknya, setelah punya anak ternyata
mendapatkan perintah untuk menyembelih anak semata wayangnya. Karena
kepatuhannya kepada Allah swt. perintah itu dilaksanakan dengan sabar.
Sebenarnya
ujian tidak hanya dialami oleh Nabi Ibrahim saja, tetapi seluruh manusia yang
didup di dunia. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang sabar. (QS. Al-Baqarah: 155)
Termasuk di dalamnya adalah cobaan yang
dialami oleh saudara kita yang beberapa tahun yang lalu terkena musiban gempa
tsunami di Aceh-Sumatera Utara, gempa Jateng-DIY, atau musibah banjir bandang
di Malaysia. Kemudian pada ayat berikutnya dijelaskan maksud orang yang sabar:
(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Innalillahi wainnailaihi
rajiun (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya
kepada-Nya lah kami kembali. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(dimuat di Majalah Citra Lima SMA Negeri 5 Semarang,
Edisi I/Januari 2007)
https://belajarpai.wordpress.com/category/artikel-islam/
Post a Comment